Bismillahir-Rahmanir-Rahim....
Tiga puluh tujuh tahun yang lalu aku menikah dengan lelaki idamanku yang bernama Dani. Di mataku lelaki ini cukup sempurna. Ganteng, juga berasal dari keluarga dan lingkungan islami. Dengan memilihnya sebagai suami, kupikir, ia bisa membimbingku sebagai istri yang sakinah. Meski ia hanya berprofesi sebagai sopir truk, tapi aku cukup bangga bila ia meminangku sebagi istrinya. Pekerjaan apapun yang penting halal dan aku mencintainya.
Dengan pertimbangan inilah, aku menikah dengan Dani sekitar 37 tahun yang lalu. Aku menikah dengan pesta resepsi seperti di kampung-kampung umumnya. Sederhana namun meriah. Undangan pun banyak yang hadir memeriahkan pestaku. Rasanya aku seperti ratu sehari. Semua orang memuji kecantikanku dengan kebaya pengantin yang kukenakan. Begitu pula, dengan Dani. Ketampanannya semakin tampak dengan baju pengantin daerah yang ia kenakan.
Setelah menikah, kami tinggal di rumah Abah dan Emakku. Maklum, suamiku hanya sebagai sopir yang belum mampu membelikanku sebuah rumah. Meski begitu, aku cukup bahagia. Terlebih kedua orang tuaku cukup menerima Dani. Tanpa melihat materi dan profesi menantunya. “Yang penting, menantuku baik terhadap putrimu. Dan, bisa membuat anakku bahagia,’ mungkin begitulah pikir kedua orang tuaku ketika itu.
...kami memang pasangan yang sangat bahagia. Kesulitan ekonomi bukan halangan bagi kami untuk menghirup kebahagiaan. Terlebih saat kami dikaruniai dua orang putri yang lucu dan cantik...
Kenyataannya memang begitu, kami memang pasangan yang sangat bahagia. Kesulitan ekonomi bukan halangan bagi kami untuk menghirup kebahagiaan. Terlebih saat kami dikaruniai dua orang putri yang lucu dan cantik. Ari dan Ami namanya. Untuk membantu kebutuhan keluarga, aku bekerja di bengkel sepatu (rumah produksi, red) yang banyak terdapat di wilayahku.
Minuman Keras Merampas Kebahagiaanku...
Diluar perkiraanku, saat hamil putriku yang ketiga, sikap suamiku berjungkal balik. Sikapnya sungguh berlawanan dengan Dani yang sesungguhnya. Dia kerap bersikap kasar dan bicaranya “ngawur”. Ini semua dikarenakan ia mulai menenggak minuman keras. Aku pun tidak mengerti kenapa ia bisa tergoda oleh minuman yang memabukkan itu. Padahal sebagai istri, aku sudah berusaha bersikap yang terbaik untuk melayaninya. Kelucuan kedua putrimu pun, ternyata tidak mampu menangkal dari godaan minuman menyesatkan ini.
Apalagi, waktu itu, aku tengah hamil anakku yang ketiga. Seharusnya dia memanjakanku seperti saat kehamilanku sebelumnya. Tapi kenyataannya tidak. Justru sebaliknya. Setiap pulang ke rumah, bukannya uang atau oleh-oleh yang dibawanya, melainkan cacian serta omongan-omongan ngelantur dan tidak jelas. Pandangan tampak teler dan badannya biasanya tegap kini menjadi sempoyongan dan tidak stabil.
Sungguh pemandangan yang memalukan! Seharusnya ia malu bersikap begitu! Karena kami masih menumpang pada orang tua. Dasar tidak tahu diri! Kata-kata itulah yang sering kupendam dalam hatiku. Ingin rasanya, aku menghindar dari pertengkaran dengan suamiku. Karena aku merasa malu dengan kedua orang tuaku serta tetanggaku yang letak rumah kami tidaklah berjauhan.
..hingga anakku yang ketiga lahir, sikapnya suamiku tak kunjung berubah. Si pemabuk ini semakin menggila. Penghasilan sebagai sopir tak pernah diserahkannya kepadaku. Uang itu dihabiskannya untuk membeli minuman setan...
Dari waktu ke waktu, hingga anakku yang ketiga, Ani lahir, sikapnya Dani tak kunjung berubah. Si pemabuk ini semakin menggila. Penghasilan sebagai sopir tak pernah diserahkannya kepadaku. Uang itu dihabiskannya untuk membeli minuman setan.
Sikapnya semakin kasar. Pukulan demi pukulan melayang ke tubuhku bila aku tengah mengingatkannya. Tak puas dengan pukulan, terkadang ia gunakan senjata atau barang yang ada di dekatnya. Senjata angin pernah ditodongkan ke arahku. Ini membuatku ketakutan tak terkira. Menggigil seluruh tubuh menahan rasa takut. Karena kutahu, dalam senapan itu memang ada pelurunya.
Kenapa aku begitu ketakutan? Sebelum ia menodongkan senjatanya padaku terlebih dahulu ia menembakkan senapan pinjamannya ini ke arah langit-langit rumah. Cicak-cicak yang berada di atap itu ditembakinya. Tak ada seorang pun yang berani melerainya. Semua larut dalam ketakutan. Jadi walau sebatas ancaman, aku berada dalam ketakutan yang luar biasa. Pernah pula, ia mengancam dengan celurit. Juga senjata-senjata tajam lainnya. Dasar pengecut! Ia hanya berani melawan wanita lemah seperti aku.
Awalnya, aku memang selalu dihantui rasa takut bila berpapasan dengannya. Senantiasa aku mengalah. Apalagi jika ia sedang mabuk. Matanya tidak bisa lagi memandangku sebagai wanita yang pernah dicintainya. Di hadapannya aku hanyalah musuh bebuyutan yang harus dihadangnya. Kelemahanku membuat taringnya semakin muncul untuk membuat keonaran. Hatiku merintih. Iba rasanya melihat ketiga putriku yang seharusnya dimanjakan oleh ayahnya malah akrab dengan suasana tegang.
Aku tidak ingin lagi melihat anakku, Abah serta Emakku larut dalam ketakutan. Aku harus berontak dan bersikap tegas. Dengan memohon kekuatan kepada Allah SWT, agar diberikan kekuatan untuk menceraikannya. Meski hati kecilku masih mencintainya tapi ku tak ingin mengorbankan seisi rumah ini hanya karena rasa cintaku pada Dani. Kuhapus cinta itu. Kubukakan pintu cerai untuknya.
..Sikapnya semakin kasar. Pukulan demi pukulan melayang ketubuhku bila aku tengah mengingatkannya. Tak puas dengan pukulan, terkadang ia gunakan senjata atau barang yang ada di dekatnya. Senjata angin berpeluru pernah ditodongkan ke arahku...
Bagaimana responnya saat kunyatakan permohonan cerai itu? Dia menangis sejadi-jadinya. Dia menyesal perbuatannya dan tidak ingin bercerai denganku. Ternyata macan itu sudah copot taringnya. Dia merayukku agar tidak menceraikannya. Dia tidak mau berpisah denganku dan anak-anak. Semua bujuk rayu tak kuhiraukan. Aku keukeuh terhadap pendirianku. Cerai adalah jalan terbaik. Kami pun akhirnya berpisah.
Enam bulan kemudian, dia merayukku untuk rujuk karena tidak ingin berpisah dengan keluarga. Melihat kesungguhannya untuk kembali kepada keluarga,., aku pun membuka pintu maaf. Kami pun dinikahkan kembali disaksikan keluarga dan kerabat. Sesuai dengan janjinya, pada awalnya dia memang bersikap baik. Seperti Dani yang pertama kukenal. Karena terseret pergaulan yang lama, dia terbawa arus syetan lagi. Dia kembali mabuk-mbukan dan bersikap kasar lagi.
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, red) akrab dengan kami lagi. Aku pun, mengingatkan lagi agar suamiku menghindar dari dunia sesat. Nasehat-nasehat demi nasehat tidak mempan lagi baginya. Aku pun memintanya bercerai lag. Dan, tidak ingin kembali ke dalam pangkuannya.
Banting Tulang Demi Anak...
Di hati kecilku, berat sesungguhnya ditinggal suami. Yang mana aku harus banting tulang mencari nafkah demi ketiga anakku. Tapi bila mengingat tabiatnya yang tak berubah, aku berusaha tegar. Kuserahkan semuanya pada Ilahi. Kuyakin bila aku berusaha, Dia tidak akan menutup mata-Nya. Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkan kami kelaparan.
Alhamdulillah, berkat bantuan Emak dan Abah dan juga saudaraku lainnya aku bisa menafkahi anak-anakkuk. Mereka juga mengerti, aku tidak tinggal diam. Aku tetap bekerja sebagai penjahit sandal dan sepatu. Namun, karena upahku teramat minim, aku pun dijinkan oleh Emak dan Abah untuk bekerja ke luar kota. Beberapa kota besar sudah kusinggahi. Anak-anak diurus oleh Emak dan Abah.
..Di hati kecilku, berat sesungguhnya ditinggal suami. Aku harus banting tulang mencari nafkah demi ketiga anakku. Tapi bila mengingat tabiatnya yang tak berubah, aku berusaha tegar. Kuserahkan semuanya pada Ilahi. Kuyakin Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkan kami kelaparan...
Sebenarnya, hati ibu mana yang mau meninggalkan buah hati hanya karena uang. Semua itu, kulakukan demi kelangsungan hidup mereka termasuk biaya sekolah. Belasan tahun aku bekerja sebagai pembantu hingga akhirnya kupilih bekerja dilingkungan desaku. Di mana aku bisa pulang ke rumah pada sore atau malam hari saat majikanku pulang bekerja.
Tanpa terasa, anak-anakku beranjak dewasa, kini ketiga putriku telah menikah. Dan, aku telah memiliki 4 orang cucu. Saat mereka menikah, bersyukur bapaknya hadir menjadi walinya anak-anak. Alhamdulillah pula, anak-anaknya masih mau menerima bapaknya pada pesta perkawinan mereka. Hubunganku dengan mantan suami kini baik-baik saja. Kini dia telah menikah lagi. Yang membuatku bahagia, mantanku itu, telah kembali ke jalan yang benar. Dan, bekerja sebagai petugas keamanan pada sebuah perumahan elit.
Meski dia sudah menikah lagi. Ini tidak membuat iri hati, Dan tidak ada keinginan untuk merebut hatinya. Aku tidak ingin merusak rumah tangga suamiku. Aku pun tidak ingin menikah dengan laki-laki lain. Aku merasa trauma dengan kejadian masa laluku. Lagipula, aku sudah merasa tua. Aku merasa bersyukur dan bahagia dengan kehadiran cucuku yang lucu. Meski kini profesiku masih sebagai pembantu, aku masih bisa membagi waktuku untuk mengurus cucu serta Emak dan Abah yang kini berusia senja dan kerap sakit-sakitan.
Api Melahap Seluruh Harta Bendaku...
Meski hidupku senantiasa dalam ketidakcukupan, aku selalu berusaha untuk mensyukurinya karena ini semua sudah merupakan takdir bagiku. Aku menerimanya dengan ikhlas. Namun keikhlasan itu belumlah cukup. Ternyata Allah memberi cobaan lain yang sangat berat kurasakan.
Di keheningan malam, di tengah lelapnya tidur, tiba-tiba kami dikejutkan oleh orang-orang yang tinggal di sekeliling kami. “Kebakaran, kebakaran, Bi Alia, Emak, Abah, semua keluar rumah,” yang sempat kudengar teriakan tetanggaku. Duh, jantung seperti mau copot. Sekujur tubuhku lemas. Benar saja, pandangan kami kabur. Asap dan api sudah mengelilingi kami. Meski lemas, kuajak cucu, anak-anak, dan menantu. Masing-masing kami menerobos api yang bersyukur belum membesar. Sehingga kami bisa menyelamatkan diri.
..aku selalu berusaha untuk mensyukurinya karena ini semua sudah merupakan takdir bagiku. Ternyata Allah memberi cobaan lain yang sangat berat kurasakan. Tengah malam, kebakaran menghabiskan rumah dan seluruh isinya. Hanya baju yang kami kenakan yang luput dari jangkauan api...
“Astagfirullah, ketika sudah ada di luar rumah yang mana masyarakat sudah berkerumun di depan rumah, kami baru ngeuh kalau Abah masih tertinggal di dalam rumah. “Abah, Abah, cepat keluar rumah!” kami semua berteriak histeris. Rupanya Abah tengah terlelap dalam tidurnya. Dia tidak menyadari apa yang sedang terjadi Lalu warga rame-rame menerobos rumah dan membopong Abah. Sambil menangis Abah kami peluk-peluk erat. “Alhamdulillah, kuabsen satu persatu anggota keluargaku, semua lengkap bisa keluar rumah dalam kondisi selamat.”
Tetapi, doaku sambil berteriak histeris “Ya Allah! Selamatkan rumah kami! Cuma inilah rumah kami satu-satunya! Kumohon padamu ya Allah!” Sesekali aku bersujud memohon kebesaran-Nya. Namun, Allah berkehendak lain, api itu semakin membesar dan melebar. Apinya semakin lapar melahap apa saja yang ada didekatnya. Lidahnya menjilat dengan lincahnya. Pupus sudah harapan kami untuk menyelamatkan harta kami satu-satunya. Padahal keluarga, masyarakat sekitar, serta pemadam kebakaran begitu gigihnya memadamkan si jago merah.
Ternyata kami kalah gagahnya dengan api ini. Dia semakin galak. Warga sekitar pun larut dalam ketegangan. Mereka pun, khawatir api ini loncat ke rumah mereka. Karena rumah kami sangatlah berdekatan. Semakin lama aku semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Teriakanku hanya cukup dalam hati. Tengah malam, api baru berhasil dipadamkan. Namun, api itu sudah menghabiskan rumah dan seluruh isinya. Tak ada barang yang bisa diselamatkan. Hanya baju yang kami kenakan yang luput dari jangkauan api
Sebagai orang beriman, seharusnya aku bersyukur, keluargaku masih utuh. Secara fisik kami tidak ada yang terluka. Orang-orang di sekitar kami selalu mengingatkan hal itu. Tapi, aku tetap saja merasa tidak rela kehilangan rumah dan benda yang hasil kerja kami.. Hatiku terluka. Ini yang membuatku sakit hingga berminggu-minggu. Depresi berkepanjangan. Hari-hariku dipenuhi dengan lamunan.
Masyarakat dan keluarga tak bosan-bosannya memberi spirit kepada keluarga. Pemerintah setempat memberikan bantuan bahan-bahan bangunan. Warga bergotong-royong membangun rumahku. Sementara kami tinggal di madrasah yang kebetulan posisinya di depan rumah. Bantuan demi bantuan terus berdatangan hingga orang-orang yang tidak kami kenal sekali pun. Subhanallah! Inilah kebesaran-Mu ya Allah. Mata hatiku mulai terbuka. Begitu banyak orang yang membantuku dengan ikhlasnya. Inilah yang membuatku menyadari kesalahanku. Aku terharu melihat kebaikan mereka. Disinilah, tampak kebersamaan kami.
Rasanya tak sabar aku ingin melihat rumahku berdiri kembali. Dan, setelah jadi, alhamdulillah, rumahku jauh lebih bagus dan kuat dibanding dengan rumahku yang dulu. Rumahku sekarang, disekat-sekat menjadi 3 bagian. Bagian pertama diperuntukkan bagiku, Ani, dan kedua orang tuaku. Yang lainnya, untuk juga kedua anakku yang telah berumah tangga. Si bungsu Ani, waktu itu belum menikah. Sehingga kami bisa berkumpul tetapi privasi menantu dan anakku tetap terjaga. Sedikit banyak merek jadi lebih mandiri “Terima kasih ya Allah atas segala kebesaran-Mu ini,” tak bosan-bosannya aku bersyukur.
Hingga kini, meski usiaku hampir mendekati 50 tahun, aku tetap bekerja sebagai pembantu rumah tangga hingga siang hari. Sisa waktu aku menyempatkan diri untuk mengurus rumah serta kedua orang tua. Mereka sekarang sudah sangat sepuh. Emak usianya sekitar tujuh puluhan tahun. Sementara Abah, delapan puluhan tahun. Meski lelah, aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengabdi kepada orang tuaku. Subhanallah!
“Maka mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan mereka juga tidak menjadi lesu (patah semangat) serta tidak menyerah (kepada musuh), dan Allah sangat menyukai orang-orang yang sabar” (Ali ‘Imran 146).
“Dan kami telah menguji mereka dengan kebaikan (kenikmatan) dan kejelekan (bencana) agar mereka mau kembali (ke jalan yang benar)” (Al-A’raf 168).
No comments:
Post a Comment